Para polisi yang bertugas menjaga jalannya sidang praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (16/2/2015), menggendong dan mengelu-elukan Kepala Polres Metro Jakarta Selatan Kombes Wahyu Hadiningrat.
Hal tersebut dilakukan setelah Hakim Sarpin Rizaldi memutuskan bahwa penetapan Komjen Budi Gunawan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi tidak sah.
Berdasarkan pantauan Kompas.com, setelah putusan itu dibacakan, para polisi berjoget sambil menyanyikan beberapa lagu. Mereka tampak melakukannya dengan penuh suka ria.
"Hidup polisi, hidup polisi," teriak para polisi.
Wahyu tampak gembira menerima perlakuan dari anggotanya itu. Senyum dan tawa lebar mengembang dari wajahnya. Namun, Wahyu menegaskan bahwa aksi tersebut hanya spontanitas, bukan untuk merayakan kemenangan Budi Gunawan.
"Ungkapan solidaritas karena kita di pengadilan ini sudah hampir sembilan hari. Di akhir kegiatan, semuanya bisa terjadi dengan spontan," ujarnya. (Baca: "Penetapan Tersangka Tak Sah, Bukan Berarti Budi Gunawan Tidak Korupsi")
Hakim Sarpin memutuskan bahwa penetapan tersangka Budi Gunawan oleh KPK tidak sah. Hakim menganggap KPK tidak memiliki kewenangan untuk mengusut kasus yang menjerat Budi. (Baca: Ini Putusan Hakim)
KPK sebelumnya menetapkan Budi sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi berupa penerimaan hadiah atau janji selama menjabat sebagai Kepala Biro Pembinaan Karier (Karobinkar) Deputi Sumber Daya Manusia Polri periode 2003-2006 dan jabatan lainnya di kepolisian.
Pasal 11 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK mencakup aturan sejumlah hal yang menjadi kewenangan KPK. Menurut pasal tersebut, KPK berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara.
KPK juga berwenang melakukan hal yang sama atas kasus yang mendapat perhatian dan meresahkan masyarakat serta kasus yang menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp 1 miliar. Namun, menurut hakim, kasus Budi Gunawan tidak masuk dalam semua kualifikasi tersebut.
penuh pencitraan licik
Kuasa hukum Komisaris Jenderal Budi Gunawan, Fredrich Yunadi, mengingatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk segera menghentikan perkara yang menjerat kliennya. Jika KPK masih melanjutkan penyidikan, ia meyakini Polri bakal melakukan perlawanan.
"Kan tadi sudah dinyatakan bahwa penetapan tersangka (Budi Gunawan) oleh KPK tidak sah. Kalau mereka (KPK) berani-berani melanjutkan perkara BG, ya polisi akan tangkap mereka," ujar Fredrich di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (16/2/2015).
Fredrich menegaskan, jika KPK tidak segera mencabut status tersangka kliennya, berarti KPK telah melanggar hukum. Putusan dalam sidang praperadilan, sebut Fredrich, adalah keputusan hukum yang patut diikuti semua pihak.
Fredrich belum mendapatkan informasi apa langkah KPK pasca-putusan praperadilan itu. Namun, apa pun yang dilakukan pihak KPK, dia menganggap tidak ada gunanya.
"Kalau tetap diproses, KPK mendingan suruh sekolah hukum lagi saja deh. Benar-benar itu sudah mengangkangi hukum namanya," ujar Fredrich.
KPK belum bisa memutuskan langkah apa yang akan diambil untuk menyikapi putusan tersebut. KPK menunggu salinan putusan untuk dipelajari. (Baca: Penetapan Tersangka Budi Gunawan Tak Sah, KPK Tunggu Salinan Putusan)
Hakim Sarpin Rizaldi menganggap KPK tidak memiliki kewenangan untuk mengusut kasus yang menjerat Budi. Hakim menganggap kasus Budi tidak masuk dalam semua kualifikasi yang diatur dalam Pasal 11 UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.
Dalam pasal itu disebutkan, KPK berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara.
Selain itu ialah kasus yang mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat serta kasus yang menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp 1 miliar.
sumber : kompas.com